Dalam bukunya "Blessings and Woes", Megam McKenna menceritakan kisah seorang pemotret yang mengamati dunia lewat lensa kameranya, namun gagal membidik gambar yang terpenting dalam hidupnya।Diakhir tahun 1980'an Ekuador dilanda krisis ekonomi berat। Lalu, dalam proporsi besar sekali, terserang epidemi wabah kolera. Seakan masih kurang, bencana alam silih menghantam memporak perandakan seluruh desa2 maupun kota2. PBB maupun Pelayanan Bantuan Katolik merespon dengan membawakan persediaan jagung, produk2 kedelai, susu, buah2an, tortilla (makanan dari tepung jagung), beras dan kacang2an.Juru potret itu mengambil posisi disuatu jalan utama dimana orang2 sakit, mereka yang kelaparan, orang2 yang sudah letih lesu saling berbaris menunggu pembagian makanan. Ia sudah terlatih untuk mengawasi detail2 kecil dan situasi umumnya yang sedang berkembang.Ia tertarik pada seorang gadis -- kurus kering dan dekil kotor, sekitar 9 atau 10 tahun umurnya. Diamatinya, selagi gadis ini dengan sabar antri, matanya selalu tertuju pada tiga anak lain lagi yang saling erat berjongkok dibawah sebuah pohon besar, memayungi diri dan menghindar dari terik panas matahari. Dua bocah laki2, sekitar umur 5 dan 7, saling menggandeng seorang gadis kecil sekitar 3 tahun. Karena perhatiannya teralihkan, gadis itu tidak melihat bahwa pekerja2 sosial itu sedang kehabisan persediaan makanan.Jantung ahli potret itu berdetak keras. Kameranya juga sudah siap.Setelah ber-jam2 terjemur dibawah matahari, gadis kecil itu akhirnya mendapatkan giliran dilayani. Yang ia terima cuma sebuah pisang. Tetapi, reaksinya begitu memukau dan seakan melumpuhkan tukang potret ini. Pertama, wajahnya menyala, bersinar dalam sebuah senyum begitu manis. Ia menerima pisang itu dan membungkuk pada pekerja sosialnya. Lalu cepat2 sekali ia berlari menuju ketiga anak2 kecil dibawah pohon tadi. Dengan amat hati2 ia menguliti, membaginya rata dalam 3 potong dan dengan sopan, hati2 sekali, ditaruhnya masing2 kedalam tangan tiap anak. Bersama2 mereka menundukkan kepala dan berdoa mengucap syukur! Lalu, perlahan2, mereka memakan potongan pisang, benar2 menikmati setiap gigitannya, sedang gadis tertua itu mengisapi kulitnya.Tukang potret itu terdiam seribu bahasa. Tak tertahan lagi, ia mulai menangis ter-sedu2, lupa samasekali akan semua kamera2nya dan akan tujuan utamanya ia hadir disana. Belakangan, setelah sadar kembali, ia bertutur, ketika sedang mengamati gadis itu, ia melihat wajah Allah bersinar. Ia sempat mengintip secuil kecil Kerajaan Allah dalam wajah dan tindakan2 seorang gadis miskin jalanan yang begitu kaya dalam kemurahan hati, cinta kasih dan saling kepedulian.Ia memang benar: itu memang wajah Allah yang dilihatnya didalam diri gadis kecil itu yang "mematikan" kebutuhan2nya sendiri agar yang lain2nya bisa dipuaskan dan hidup. Dan adalah wajah Allah yang kita lihat dalam diri Yesus yang berlutut di lantai, mencuci segala tanah dan kotoran yang melekat dikaki para murid2Nya, dan membasuh dengan tanganNya sendiri.
(JM)Excerpted from Sambuhay by Society of St. PaulThe God We Encounter at the Super Table (orig. title)Shared by Joe Gatuslao -- Philippines
(JM)Excerpted from Sambuhay by Society of St. PaulThe God We Encounter at the Super Table (orig. title)Shared by Joe Gatuslao -- Philippines
Tidak ada komentar:
Posting Komentar